Bagian
Kesatu
Perlindungan
Paragraf
1
Penyandang
Cacat
Pasal
67
(1) Pengusaha yang mempekerjakan tenaga kerja
penyandang cacat wajib memberikan perlindungan sesuai dengan jenis dan derajat
kecacatannya.
(2) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Paragraf
2
Anak
Pasal
68
Pengusaha
dilarang mempekerjakan anak.
Pasal
69
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat
dikecualikan bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan
15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak
mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak pada
pekerjaan ringan sebagai-mana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi
persyaratan:
a. izin tertulis dari orang tua atau wali;
b. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang
tua atau wali;
c. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
d. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu
waktu sekolah;
e. keselamatan dan kesehatan kerja;
f. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
g. menerima upah sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha
keluarganya.
Pasal
70
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan di tempat kerja
yang merupakan bagian dari kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan
oleh pejabat yang berwenang.
(2) Anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
paling sedikit berumur 14 (empat belas) tahun.
(3) Pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat dilakukan dengan syarat:
a. diberi petunjuk yang jelas tentang cara
pelaksanaan pekerjaan serta bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakan pekerjaan;
dan
b. diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan
kerja.
Pasal
71
(1) Anak dapat melakukan pekerjaan untuk
mengembangkan bakat dan minatnya.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan anak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib memenuhi syarat:
a. di bawah pengawasan langsung dari orang tua
atau wali;
b. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari;
dan
c. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu
perkembangan fisik, mental, sosial, dan waktu sekolah.
(3) Ketentuan mengenai anak yang bekerja untuk mengembangkan
bakat dan minat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal
72
Dalam
hal anak dipekerjakan bersama-sama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja
anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa.
Pasal
73
Anak
dianggap bekerja bilamana berada di tempat kerja, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.
Pasal
74
(1) Siapapun dilarang mempekerjakan dan melibatkan
anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk.
(2) Pekerjaan-pekerjaan yang terburuk yang
dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau
sejenisnya;
b. segala pekerjaan yang memanfaatkan,
menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi,
pertunjukan porno, atau perjudian;
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan,
menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras,
narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau
d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan,
keselamatan, atau moral anak.
(3) Jenis-jenis pekerjaaan yang membahayakan
kesehatan, keselamatan, atau moral anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
huruf d ditetapkan dengan Keputusan Menteri.
Pasal
75
(1) Pemerintah berkewajiban melakukan upaya
penanggulangan anak yang bekerja di luar hubungan kerja.
(2) Upaya penanggulangan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf
3
Perempuan
Pasal
76
(1) Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang
dari 18 (delapan belas) tahun dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00.
(2) Pengusaha dilarang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan kandungannya maupun dirinya apabila bekerja antara pukul 23.00
sampai dengan pukul 07.00.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
perempuan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00 wajib:
a. memberikan makanan dan minuman bergizi; dan
b. menjaga kesusilaan dan keamanan selama di
tempat kerja.
(4) Pengusaha wajib menyediakan angkutan antar
jemput bagi pekerja/buruh perempuan yang berangkat dan pulang bekerja antara
pukul 23.00 sampai dengan pukul 05.00.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
dan ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf
4
Waktu
Kerja
Pasal
77
(1) Setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan
waktu kerja.
(2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat
puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
(3) Ketentuan waktu kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak berlaku bagi sector usaha atau pekerjaan tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja pada sektor
usaha atau pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal
78
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus
memenuhi syarat:
a. ada persetujuan pekerja/buruh yang
bersangkutan; dan
b. waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan
paling banyak 3 (tiga) jam dalam 1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1
(satu) minggu.
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
melebihi waktu kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah
kerja lembur.
(3) Ketentuan waktu kerja lembur sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf b tidak berlaku bagi sektor usaha atau pekerjaan
tertentu.
(4) Ketentuan mengenai waktu kerja lembur dan upah
kerja lembur sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal
79
(1) Pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan
cuti kepada pekerja/buruh.
(2) Waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), meliputi:
a. istirahat antara jam kerja, sekurang kurangnya
setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu
istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja;
b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6
(enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari
kerja dalam 1 (satu) minggu;
c. cuti tahunan, sekurang kurangnya 12 (dua
belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12
(dua belas) bulan secara terus menerus; dan
d. istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua)
bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu)
bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara
terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut
tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan
selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun.
(3) Pelaksanaan waktu istirahat tahunan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(4) Hak istirahat panjang sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada
perusahaan tertentu.
(5) Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud dalam
ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
80
Pengusaha
wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/ buruh untuk melaksanakan
ibadah yang diwajibkan oleh agamanya.
Pasal
81
(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid
merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada
hari pertama dan kedua pada waktu haid.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal
82
(1) Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh
istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan
1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter
kandungan atau bidan.
(2) Pekerja/buruh perempuan yang mengalami
keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau
sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
Pasal
83
Pekerja/buruh
perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk
menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Pasal
84
Setiap
pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat
upah penuh.
Pasal
85
(1) Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada
hari-hari libur resmi.
(2) Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh
untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan
tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus atau pada
keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.
(3) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) wajib membayar upah kerja lembur.
(4) Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Paragraf
5
Keselamatan
dan Kesehatan Kerja
Pasal
86
(1) Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh
perlindungan atas:
a. keselamatan dan kesehatan kerja;
b. moral dan kesusilaan; dan
c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai agama.
(2) Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh
guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya
keselamatan dan kesehatan kerja.
(3) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang
berlaku.
Pasal
87
(1) Setiap perusahaan wajib menerapkan sistem
manajemen keselamatan dan kesehatan kerja yang terintegrasi dengan sistem
manajemen perusahaan.
(2) Ketentuan mengenai penerapan sistem manajemen
keselamatan dan kesehatan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Pengupahan.
Pasal
88
(1) Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
(2)
Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan
yang melindungi pekerja/buruh.
(3) Kebijakan pengupahan yang melindungi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) meliputi:
a. upah minimum;
b. upah kerja lembur;
c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan;
d. upah tidak masuk kerja karena melakukan
kegiatan lain di luar pekerjaannya;
e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat
kerjanya;
f. bentuk dan cara pembayaran upah;
g. denda dan potongan upah;
h. hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah;
i. struktur dan skala pengupahan yang
proporsional;
j. upah untuk pembayaran pesangon; dan
k. upah untuk perhitungan pajak penghasilan.
(4) Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana
dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan
mem-perhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pasal
89
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
88 ayat (3) huruf a dapat terdiri atas:
a. upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau
kabupaten/kota;
b. upah minimum berdasarkan sektor pada wilayah
provinsi atau kabupaten/kota.
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.
(3) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan oleh Gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari Dewan
Pengupahan Provinsi dan/atau Bupati/Walikota.
(4) Komponen serta pelaksanaan tahapan pencapaian
kebutuhan hidup layak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal
90
(1) Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah
dari upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89.
(2) Bagi pengusaha yang tidak mampu membayar upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dapat dilakukan penangguhan.
(3) Tata cara penangguhan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
91
(1) Pengaturan pengupahan yang ditetapkan atas
kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib
membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
92
(1) Pengusaha menyusun struktur dan skala upah
dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
(2) Pengusaha melakukan peninjauan upah secara
berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
(3) Ketentuan mengenai struktur dan skala upah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
93
(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak
melakukan pekerjaan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila:
a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat
melakukan pekerjaan;
b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari
pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena
pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri
melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu
atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan
pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;
e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan
pekerjaannya karena menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan
yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena
kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;
g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;
h.
pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat
pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan
i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan
dari perusahaan.
(3) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang
sakit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a sebagai berikut:
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100%
(seratus perseratus) dari upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75%
(tujuh puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50%
(lima puluh perseratus) dari upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh
lima perseratus) dari upah sebelum pemutusan hubungan kerja dilakukan oleh
pengusaha.
(4) Upah yang dibayarkan kepada pekerja/buruh yang
tidak masuk bekerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf c sebagai berikut:
a. pekerja/buruh menikah, dibayar untuk selama 3
(tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2
(dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2
(dua) hari
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2
(dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan,
dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami/isteri, orang tua/mertua atau anak atau
menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; dan
g. anggota keluarga dalam satu rumah meninggal
dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
(5) Pengaturan pelaksanaan ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal
94
Dalam
hal komponen upah terdiri dari upah pokok dan tunjangan tetap maka besarnya
upah pokok sedikit-dikitnya 75 % (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah upah
pokok dan tunjangan tetap.
Pasal
95
(1) Pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja/buruh
karena kesengajaan atau kelalaiannya dapat dikenakan denda.
(2) Pengusaha yang karena kesengajaan atau
kelalaiannya mengakibatkan keterlambatan pembayaran upah, dikenakan denda
sesuai dengan persentase tertentu dari upah pekerja/buruh.
(3) Pemerintah mengatur pengenaan denda kepada
pengusaha dan/atau pekerja/buruh, dalam pembayaran upah.
(4) Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau
dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah
dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya.
Pasal
96
Tuntutan
pembayaran upah pekerja/buruh dan segala pembayaran yang timbul dari hubungan
kerja menjadi kadaluwarsa setelah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak
timbulnya hak.
Pasal
97
Ketentuan
mengenai penghasilan yang layak, kebijakan pengupahan, kebutuhan hidup layak,
dan perlindungan pengupahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88, penetapan upah
minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89, dan pengenaan denda sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
98
(1) Untuk memberikan saran, pertimbangan, dan
merumuskan kebijakan pengupahan yang akan ditetapkan oleh pemerintah, serta
untuk pengembangan system pengupahan nasional dibentuk Dewan Pengupahan
Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(2) Keanggotaan Dewan Pengupahan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha,
serikat pekerja/-serikat buruh, perguruan tinggi, dan pakar.
(3) Keanggotaan Dewan Pengupahan tingkat Nasional
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, sedangkan keanggotaan Dewan
Pengupahan Provinsi, Kabupaten/Kota diangkat dan diberhentikan oleh Gubenur/ Bupati/Walikota.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan,
komposisi keanggotaan, tata cara pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan,
serta tugas dan tata kerja Dewan Pengupahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dan ayat (2), diatur dengan Keputusan Presiden.
Bagian
Ketiga
Kesejahteraan
Pasal
99
(1) Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak
untuk memperoleh jaminan social tenaga kerja.
(2) Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
100
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas
kesejahteraan.
(2) Penyediaan fasilitas kesejahteraan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan
pekerja/buruh dan ukuran kemampuan perusahaan.
(3) Ketentuan mengenai jenis dan kriteria
fasilitas kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan pekerja/buruh dan ukuran
kemampuan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
101
(1) Untuk meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh,
dibentuk koperasi pekerja/buruh dan usaha-usaha produktif di perusahaan.
(2) Pemerintah, pengusaha, dan pekerja/buruh atau
serikat pekerja/serikat buruh berupaya menumbuhkembangkan koperasi
pekerja/buruh, dan mengembangkan usaha produktif sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1).
(3) Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
(4) Upaya-upaya untuk menumbuhkembangkan koperasi
pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Sumber:
www.prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Disadur
ulang oleh: Triple World tanpa mengubah esensi dari materi yang ada di dalam
undang-undang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda. Terima kasih.