Bagian
Kesatu
Umum
Pasal
102
(1) Dalam melaksanakan hubungan industrial,
pemerintah mempunyai fungsi menetapkan kebijakan, memberikan pelayanan,
melaksanakan pengawasan, dan melakukan penindakan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.
(2) Dalam melaksanakan hubungan industrial,
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruhnya mempunyai fungsi menjalankan
pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan
produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan,
dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota beserta keluarganya.
(3) Dalam melaksanakan hubungan industrial,
pengusaha dan organisasi pengusahanya mempunyai fungsi menciptakan kemitraan,
mengembangkan usaha, memperluas lapangan kerja, dan memberikan kesejahteraan
pekerja/buruh secara terbuka, demokratis, dan berkeadilan.
Pasal
103
Hubungan
Industrial dilaksanakan melalui sarana:
a. serikat
pekerja/serikat buruh;
b. organisasi
pengusaha;
c. lembaga kerja
sama bipartit;
d. embaga kerja
sama tripartit;
e. peraturan
perusahaan;
f. perjanjian kerja
bersama;
g. peraturan
perundang-undangan ketenagakerjaan; dan
h. lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Bagian
Kedua
Serikat
Pekerja/Serikat Buruh
Pasal
104
(1) Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan
menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh ber-hak menghimpun dan mengelola
keuangan serta mempertanggungjawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok.
(3) Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dalam ang-garan dasar dan/atau
anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan.
Bagian
Ketiga
Organisasi
Pengusaha
Pasal
105
(1) Setiap pengusaha berhak membentuk dan menjadi
anggota organisasi pengusaha.
(2) Ketentuan mengenai organisasi pengusaha diatur
sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Bagian
Keempat
Lembaga
Kerja Sama Bipartit
Pasal
106
(1) Setiap perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima
puluh) orang pekerja/ buruh atau lebih wajib membentuk lembaga kerja sama
bipartit.
(2) Lembaga kerja sama bipartit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) berfungsi sebagai forum komunikasi, dan konsultasi
mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan.
(3) Susunan keanggotaan lembaga kerja sama
bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terdiri dari unsur pengusaha dan
unsur pekerja/buruh yang ditunjuk oleh pekerja/buruh secara demokratis untuk
mewakili kepentingan pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
(4) Ketentuan mengenai tata cara pembentukan dan
susunan keanggotaan lembaga kerja sama bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dan ayat (3) diatur dengan Keputusan Menteri.
Bagian
Kelima
Lembaga
Kerja Sama Tripartit
Pasal
107
(1) Lembaga kerja sama tripartit memberikan
pertimbangan, saran, dan pendapat kepada pemerintah dan pihak terkait dalam
penyusunan kebijakan dan pemecahan masalah ketenagakerjaan.
(2) Lembaga Kerja sama Tripartit sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari:
a. Lembaga Kerja sama Tripartit Nasional,
Provinsi, dan Kabupaten/ Kota; dan
b. Lembaga Kerja sama Tripartit Sektoral
Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota.
(3) Keanggotaan Lembaga Kerja sama Tripartit
terdiri dari unsur pemerintah, organisasi pengusaha, dan seri-kat
pekerja/serikat buruh.
(4) Tata kerja dan susunan organisasi Lembaga
Kerja sama Tripartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian
Keenam
Peraturan
Perusahaan
Pasal
108
(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh
sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang
mulai berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Kewajiban membuat peraturan perusahaan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi perusahaan yang telah
memiliki perjanjian kerja bersama.
Pasal
109
Peraturan
perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab dari pengusaha yang
bersangkutan.
Pasal
110
(1) Peraturan perusahaan disusun dengan
memperhatikan saran dan pertimbangan dari wakil pekerja/buruh di perusahaan
yang bersangkutan.
(2) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan
telah terbentuk serikat pekerja/serikat buruh maka wakil pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pengurus serikat pekerja/serikat
buruh.
(3) Dalam hal di perusahaan yang bersangkutan
belum terbentuk serikat pekerja/serikat buruh, wakil pekerja/ buruh sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) adalah pekerja/buruh yang dipilih secara demokratis
untuk mewakili kepentingan para pekerja/buruh di perusahaan yang bersangkutan.
Pasal
111
(1) Peraturan perusahaan sekurang-kurangnya
memuat:
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban pekerja/buruh;
c. syarat kerja;
d. tata tertib perusahaan; dan
e. jangka waktu berlakunya peraturan perusahaan.
(2) Ketentuan dalam peraturan perusahaan tidak
boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
(3) Masa berlaku peraturan perusahaan paling lama
2 (dua) tahun dan wajib diperbaharui setelah habis masa berlakunya.
(4) Selama masa berlakunya peraturan perusahaan,
apabila serikat pekerja/ serikat buruh di perusahaan meng hendaki perundingan
pembuatan perjanjian kerja bersama, maka pengusaha wajib melayani.
(5) Dalam hal perundingan pembuatan perjanjian
kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) tidak mencapai kesepakatan,
maka peraturan perusahaan tetap berlaku sampai habis jangka waktu berlakunya.
Pasal
112
(1) Pengesahan peraturan perusahaan oleh Menteri
atau pejabat yang ditunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (1) harus
sudah diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak naskah
peraturan perusahaan diterima.
(2) Apabila peraturan perusahaan telah sesuai
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2), maka dalam waktu
30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terlampaui
dan peraturan perusahaan belum disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk,
maka peraturan perusahaan dianggap telah mendapatkan pengesahan.
(3) Dalam hal peraturan perusahaan belum memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dan ayat (2) Menteri
atau pejabat yang ditunjuk harus memberitahukan secara tertulis kepada
pengusaha mengenai perbaikan peraturan perusahaan.
(4) Dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari
kerja sejak tanggal pemberitahuan diterima oleh pengusaha sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3), pengusaha wajib menyampaikan kembali peraturan perusahaan yang
telah diperbaiki kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Pasal
113
(1) Perubahan peraturan perusahaan sebelum
berakhir jangka waktu berlakunya hanya dapat dilakukan atas dasar kesepakatan
antara pengusaha dan wakil pekerja/buruh.
(2) Peraturan perusahaan hasil perubahan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus mendapat pengesahan dari Menteri atau
pejabat yang ditunjuk.
Pasal
114
Pengusaha
wajib memberitahukan dan menjelaskan isi serta memberikan naskah peraturan
perusahaan atau perubahannya kepada pekerja/buruh.
Pasal
115
Ketentuan
mengenai tata cara pembuatan dan pengesahan peraturan perusahaan diatur dengan
Keputusan Menteri.
Bagian
Ketujuh
Perjanjian
Kerja Bersama
Pasal
116
(1) Perjanjian kerja bersama dibuat oleh serikat pekerja/serikat
buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang telah tercatat pada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha atau
beberapa pengusaha.
(2) Penyusunan perjanjian kerja bersama
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan secara musyawarah.
(3) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) harus dibuat secara tertulis dengan huruf latin dan menggunakan
bahasa Indonesia.
(4) Dalam hal terdapat perjanjian kerja bersama
yang dibuat tidak menggunakan bahasa Indonesia, maka per-janjian kerja bersama
tersebut harus diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerjemah tersumpah
dan terjemahan tersebut dianggap sudah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3).
Pasal
117
Dalam
hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (2) tidak mencapai
kesepakatan maka penyelesaiannya dilakukan melalui prosedur penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
Pasal
118
Dalam
1 (satu) perusahaan hanya dapat dibuat 1 (satu) perjanjian kerja bersama yang
berlaku bagi seluruh pekerja/buruh di perusahaan.
Pasal
119
(1) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat
satu serikat pekerja/serikat buruh, maka serikat pekerja/serikat buruh tersebut
berhak mewakili pekerja/buruh dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja
bersama dengan pengusaha apabila memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan yang
bersangkutan.
(2) Dalam hal di satu perusahaan hanya terdapat
satu serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi
tidak memiliki jumlah anggota lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari
jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan maka serikat pekerja/serikat buruh
dapat mewakili pekerja/buruh dalam perundingan dengan pengusaha apabila serikat
pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah mendapat dukungan lebih 50% (lima
puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan melalui
pemungutan suara.
(3) Dalam hal dukungan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(2) tidak tercapai maka serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan dapat
mengajukan kembali permintaan untuk merundingkan perjanjian kerja bersama
dengan pengusaha setelah melampaui jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak
dilakukannya pemungutan suara dengan mengikuti prosedur sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2).
Pasal
120
(1) Dalam hal di satu perusahaan terdapat lebih
dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh maka yang berhak mewakili
pekerja/buruh melakukan perundingan dengan pengusaha yang jumlah keanggotaannya
lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari seluruh jumlah pekerja/buruh di
perusahaan tersebut.
(2) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) tidak terpenuhi, maka serikat pekerja/serikat buruh dapat melakukan
koalisi sehingga tercapai jumlah lebih dari 50% (lima puluh perseratus) dari
seluruh jumlah pekerja/buruh di perusahaan tersebut untuk mewakili dalam
perundingan dengan pengusaha.
(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) atau ayat (2) tidak terpenuhi, maka para serikat pekerja/serikat buruh
membentuk tim perunding yang keanggotaannya ditentukan secara proporsional
berdasarkan jumlah anggota masing-masing serikat pekerja/serikat buruh.
Pasal
121
Keanggotaan
serikat pekerja/serikat buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 dan Pasal
120 dibuktikan dengan kartu tanda anggota.
Pasal
122
Pemungutan
suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 ayat (2) diselenggarakan oleh
panitia yang terdiri dari wakil-wakil pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang disaksikan oleh pihak pejabat yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan dan pengusaha.
Pasal
123
(1) Masa berlakunya perjanjian kerja bersama
paling lama 2 (dua) tahun.
(2) Perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diperpanjang masa berlakunya pa-ling lama 1 (satu) tahun
berdasarkan kesepakatan tertulis antara pengusaha dengan serikat
pekerja/serikat buruh.
(3) Perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama
berikutnya dapat dimulai paling cepat 3 (tiga) bulan sebelum berakhirnya
perjanjian kerja bersama yang sedang berlaku.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) tidak mencapai kesepakatan maka perjan-jian kerja bersama yang
sedang berlaku, tetap berlaku untuk paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal
124
(1) Perjanjian kerja bersama paling sedikit
memuat:
a. hak dan kewajiban pengusaha;
b. hak dan kewajiban serikat pekerja/serikat
buruh serta pekerja/buruh;
c. jangka waktu dan tanggal mulai berlakunya
perjanjian kerja bersama; dan
d. tanda tangan para pihak pembuat perjanjian
kerja bersama.
(2) Ketentuan dalam perjanjian kerja bersama tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Dalam hal isi perjanjian kerja bersama
bertentangan dengan peraturan perundanguu13-2003 undangan yang berlaku
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka ketentuan yang bertentangan tersebut
batal demi hukum dan yang berlaku adalah ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan.
Pasal
125
Dalam
hal kedua belah pihak sepakat mengadakan perubahan perjanjian kerja bersama,
maka perubahan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian
kerja bersama yang sedang berlaku.
Pasal
126
(1) Pengusaha, serikat pekerja/serikat buruh dan
pekerja/buruh wajib melaksanakan ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja
bersama.
(2) Pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
wajib memberitahukan isi perjanjian kerja bersama atau peru-bahannya kepada
seluruh pekerja/ buruh.
(3) Pengusaha harus mencetak dan membagikan naskah
perjanjian kerja bersama kepada setiap pekerja/ buruh atas biaya perusahaan.
Pasal
127
(1) Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha
dan pekerja/buruh tidak boleh bertentangan dengan perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal ketentuan dalam perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bertentangan dengan perjanjian kerja
bersama, maka ketentuan dalam perjanjian kerja tersebut batal demi hukum dan
yang berlaku adalah ketentuan dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal
128
Dalam
hal perjanjian kerja tidak memuat aturan-aturan yang diatur dalam perjanjian
kerja bersama maka yang berlaku adalah aturan-aturan dalam perjanjian kerja
bersama.
Pasal
129
(1) Pengusaha dilarang mengganti perjanjian kerja
bersama dengan peraturan perusahaan, selama di perusahaan yang bersangkutan
masih ada serikat pekerja/serikat buruh.
(2) Dalam hal di perusahaan tidak ada lagi serikat
pekerja/serikat buruh dan perjanjian kerja bersama diganti dengan peraturan
perusahaan, maka ketentuan yang ada dalam peraturan perusahaan tidak boleh
lebih rendah dari ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja bersama.
Pasal 130
(1) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah
berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan
tersebut hanya terdapat 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, maka
perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama tidak
mensyaratkan ketentuan dalam Pasal 119.
(2) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah
berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diper-baharui dan di perusahaan
tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh yang dulu berunding tidak lagi memenuhi ketentuan Pasal
120 ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja
bersama dilakukan oleh serikat pekerja/serikat buruh yang anggotanya lebih 50%
(lima puluh perseratus) dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaan
bersama-sama dengan serikat pekerja/serikat buruh yang membuat perjanjian kerja
bersama terdahulu dengan membentuk tim perunding secara proporsional.
(3) Dalam hal perjanjian kerja bersama yang sudah
berakhir masa berlakunya akan diperpanjang atau diperbaharui dan di perusahaan
tersebut terdapat lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/ serikat buruh dan tidak
satupun serikat pekerja/serikat buruh yang ada memenuhi ketentuan Pasal 120
ayat (1), maka perpanjangan atau pembuatan pembaharuan perjanjian kerja bersama
dilakukan menurut ketentuan Pasal 120 ayat (2) dan ayat (3).
Pasal
131
(1) Dalam hal terjadi pembubaran serikat pekerja/serikat
buruh atau pengalihan kepemilikan perusahaan maka perjanjian kerja bersama
tetap berlaku sampai berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
(2) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan
(merger) dan masing-masing perusahaan mempunyai perjanjian kerja bersama maka
perjanjian kerja bersama yang berlaku adalah perjanjian kerja bersama yang
lebih menguntungkan pekerja/buruh.
(3) Dalam hal terjadi penggabungan perusahaan
(merger) antara perusahaan yang mempunyai perjanjian kerja bersama dengan
perusahaan yang belum mempunyai perjanjian kerja bersama maka perjanjian kerja
bersama tersebut berlaku bagi perusahaan yang bergabung (merger) sampai dengan
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja bersama.
Pasal
132
(1) Perjanjian kerja bersama mulai berlaku pada
hari penandatanganan kecuali ditentukan lain dalam perjanjian kerja bersama
tersebut.
(2) Perjanjian kerja bersama yang ditandatangani
oleh pihak yang membuat perjanjian kerja bersama selan-jutnya didaftarkan oleh
pengusaha pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal
133
Ketentuan
mengenai persyaratan serta tata cara pembuatan, perpanjangan, perubahan, dan
pendaftaran perjanjian kerja bersama diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
134
Dalam
mewujudkan pelaksanaan hak dan kewajiban pekerja/buruh dan pengusaha,
pemerintah wajib melaksanakan pengawasan dan penegakan peraturan
perundangundangan ketenagakerjaan.
Pasal
135
Pelaksanaan
peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam mewujudkan hubungan
industrial merupakan tanggung jawab pekerja/buruh, pengusaha, dan pemerintah.
Bagian
Kedelapan
Lembaga
Penyelesaian Perselisihan
Hubungan
Industrial
Paragraf
1
Perselisihan
Hubungan Industrial
Pasal
136
(1) Penyelesaian perselisihan hubungan industrial
wajib dilaksanakan oleh pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh secara musyawarah untuk mufakat.
(2) Dalam hal penyelesaian secara musyawarah untuk
mufakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak tercapai, maka pengusaha dan
pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan
industrial yang diatur dengan undang-undang.
Paragraf
2
Mogok
Kerja
Pasal
137
Mogok
kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh
dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.
Pasal
138
(1) Pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat
buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat
mogok kerja berlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum.
(2) Pekerja/buruh yang diajak mogok kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memenuhi atau tidak memenuhi ajakan
tersebut.
Pasal
139
Pelaksanaan
mogok kerja bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan yang melayani
kepentingan umum dan/atau perusahaan yang jenis kegiatan-nya membahayakan
keselamatan jiwa manusia diatur sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu
kepentingan umum dan/atau membahayakan keselamatan orang lain.
Pasal
140
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari
kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat
pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan
diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan
mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau
masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai
penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh
pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/ serikat buruh, maka
pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh
perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai coordinator dan/atau penanggung
jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamat kan alat produksi dan
aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara:
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja
berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang
mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
Pasal
141
(1) Instansi pemerintah dan pihak perusahaan yang
menerima surat pemberitahuan mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140
wajib memberikan tanda terima.
(2) Sebelum dan selama mogok kerja berlangsung,
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan
masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan
merundingkannya dengan para pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuatkan perjanjian
bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang
menyebabkan terjadinya mogok kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang berwenang.
(5) Dalam hal perundingan tidak menghasilkan
kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan
antara pengusaha dengan serikat pekerja/serikat buruh atau penanggung jawab
mogok kerja, mogok kerja dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau
dihentikan sama sekali.
Pasal
142
(1) Mogok kerja yang dilakukan tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 dan Pasal 140 adalah mogok kerja
tidak sah.
(2) Akibat hukum dari mogok kerja yang tidak sah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal
143
(1) Siapapun tidak dapat menghalang-halangi
pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh untuk menggunakan hak mogok
kerja yang dilakukan secara sah, tertib, dan damai.
(2) Siapapun dilarang melakukan penangkapan
dan/atau penahanan terhadap pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat
buruh yang melakukan mogok kerja secara sah, tertib, dan damai sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
144
Terhadap
mogok kerja yang dilakukan sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 140, pengusaha dilarang:
a. mengganti pekerja/buruh yang mogok kerja
dengan pekerja/buruh lain dari luar perusahaan; atau
b. memberikan sanksi atau tindakan balasan dalam
bentuk apapun kepada pekerja/buruh dan pengurus serikat pekerja/serikat buruh
selama dan sesudah melakukan mogok kerja.
Pasal
145
Dalam
hal pekerja/buruh yang melakukan mogok kerja secara sah dalam melakukan
tuntutan hak normatif yang sungguh-sungguh dilanggar oleh pengusaha,
pekerja/buruh berhak mendapatkan upah.
Paragraf
3
Penutupan
Perusahaan (lock-out)
Pasal
146
(1) Penutupan perusahaan (lock out) merupakan hak
dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk
menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan.
(2) Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan
perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan
normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Pasal
147
Penutupan
perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang
melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan
jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat
pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan
gas bumi, serta kereta api.
Pasal
148
(1) Pengusaha wajib memberitahukan secara tertulis
kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7
(tujuh) hari kerja sebelum penutupan perusahaan (lock out) dilaksanakan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) sekurang-kurangnya memuat:
a. waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan
diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan
b. alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan
perusahaan (lock out).
(3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang
bersangkutan.
Pasal
149
(1) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenaga-kerjaan yang
menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out)
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 148 harus memberikan tanda bukti penerimaan
dengan mencantumkan hari, tanggal, dan jam penerimaan.
(2) Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock
out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan
perusahaan (lock out) dengan mempertemukan dan merundingkannya dengan para
pihak yang berselisih.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama
yang ditandatangani oleh para pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi.
(4) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2) tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang
menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
(5) Apabila perundingan tidak menghasilkan
kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), maka atas dasar perundingan
antara pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh, penutupan perusahaan (lock
out) dapat diteruskan atau dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama
sekali.
(6) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
148 ayat (1) dan ayat (2) tidak diperlukan apabila:
a. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140;
b. pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat
buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Sumber:
www.prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Disadur
ulang oleh: Triple World tanpa mengubah esensi dari materi yang ada di dalam
undang-undang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda. Terima kasih.