Pasal 150
Ketentuan
mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik
orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta
maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang
mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
Pasal 151
(1) Pengusaha, pekerja/buruh, serikat
pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan
agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
(2) Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi
pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan
kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau
dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi
anggota serikat pekerja/serikat buruh.
(3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetu-juan, pengusaha hanya
dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh
penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 152
(1) Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja
diajukan secara tertulis kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial disertai alasan yang menjadi dasarnya.
(2) Permohonan penetapan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat diterima oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
apabila telah dirundangkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(3) Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan
kerja hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial jika ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah
dirundingkan, tetapi perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.
Pasal 153
(1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan
hubungan kerja dengan alasan:
a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena
sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas)
bulan secara terus-menerus;
b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan
pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang
diperintahkan agamanya;
d. pekerja/buruh menikah;
e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan,
gugur kandungan, atau menyusui bayinya;
f. pekerja/buruh mempunyai pertalian darah
dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu
perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahan,
atau perjanjian kerja bersama;
g. pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota
dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan
kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam
kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
h. pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada
yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana
kejahatan;
i. karena perbedaan paham, agama, aliran
politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik, atau status
perkawinan;
j. pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap,
sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut
surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat
dipastikan.
(2) Pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan
alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali pekerja/buruh yang bersangkutan.
Pasal 154
Penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) tidak diperlukan dalam hal:
a. pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja,
bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
b. pekerja/buruh mengajukan permintaan
pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi
adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan
perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
c. pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai
dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja
bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
d. pekerja/buruh meninggal dunia.
Pasal 155
(1) Pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum.
(2) Selama putusan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun
pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
(3) Pengusaha dapat melakukan penyimpangan
terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa tindakan skorsing
kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan
tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima
pekerja/buruh.
Pasal 156
(1) Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja,
pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa
kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
(2) Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1
(satu) bulan upah;
b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi
kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.
h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9
(sembilan) bulan upah.
(3) Perhitungan uang penghargaan masa kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi
kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih
tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau
lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau
lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah.
(4) Uang penggantian hak yang seharusnya diterima
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum
gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh
dan keluarganya ketempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan
perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau
uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(5) Perubahan perhitungan uang pesangon,
perhitungan uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 157
(1) Komponen upah yang digunakan sebagai dasar
perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang pengganti hak
yang seharusnya diterima yang tertunda, terdiri atas:
a. upah pokok;
b. segala macam bentuk tunjangan yang bersifat
tetap yang diberikan kepada pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk harga
pembelian dari catu yang diberikan kepada pekerja/buruh secara cuma-cuma, yang
apabila catu harus dibayar pekerja/buruh dengan subsidi, maka sebagai upah
dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh
pekerja/buruh.
(2) Dalam hal penghasilan pekerja/buruh dibayarkan
atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30
kali penghasilan sehari.
(3) Dalam hal upah pekerja/buruh dibayarkan atas
dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, maka penghasilan
sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas)
bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan upah minimum
provinsi atau kabupaten/kota.
(4) Dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan
cuaca dan upahnya didasarkan pada upah borongan, maka perhitungan upah sebulan
dihitung dari upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
Pasal 158
(1) Pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja
terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan
berat sebagai berikut:
a. melakukan penipuan, pencurian, atau
penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
b. memberikan keterangan palsu atau yang
dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
c. mabuk, meminum minuman keras yang memabukkan,
memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
di lingkungan kerja;
d. melakukan perbuatan asusila atau perjudian di
lingkungan kerja;
e. menyerang, menganiaya, mengancam, atau
mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
f. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
g. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau
membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik perusahaan yang menimbulkan
kerugian bagi perusahaan;
h. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman
sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
i. membongkar atau membocorkan rahasia
perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara; atau
j. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan
perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
(2) Kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus didukung dengan bukti sebagai berikut:
a. pekerja/buruh tertangkap tangan;
b. ada pengakuan dari pekerja/buruh yang
bersangkutan; atau
c. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat
oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh
sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
(3) Pekerja/buruh yang diputus hubungan kerjanya
berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dapat memperoleh uang
penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 156 ayat (4).
(4) Bagi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara
langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan Pasal 156 ayat (4)
diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian
kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Pasal 159
Apabila
pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 160
(1) Dalam hal pekerja/buruh ditahan pihak yang
berwajib karena diduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha, maka
pengusaha tidak wajib membayar upah tetapi wajib memberikan bantuan kepada
keluarga pekerja/buruh yang menjadi tanggungannya dengan ketentuan sebagai
berikut:
a. untuk 1 (satu) orang tanggungan : 25% (dua
puluh lima perseratus) dari upah;
b. untuk 2 (dua) orang tanggungan : 35% (tiga
puluh lima perseratus) dari upah;
c. untuk 3 (tiga) orang tanggungan : 45% (empat
puluh lima perseratus) dari upah;
d. untuk 4 (empat) orang tanggungan atau lebih :
50% (lima puluh perseratus) dari upah.
(2) Bantuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan untuk paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitung sejak hari pertama
pekerja/buruh ditahan oleh pihak yang berwajib.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh yang setelah 6 (enam) bulan tidak dapat melakukan
pekerjaan sebagaimana mestinya karena dalam proses perkara pidana sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1).
(4) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana
sebelum masa 6 (enam) bulan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) berakhir dan
pekerja/buruh dinyatakan tidak bersalah, maka pengusaha wajib mempekerjakan
pekerja/buruh kembali.
(5) Dalam hal pengadilan memutuskan perkara pidana
sebelum masa 6 (enam) bulan berakhir dan pekerja/ buruh dinyatakan bersalah,
maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja kepada pekerja/buruh
yang bersangkutan.
(6) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (3) dan ayat (5) dilakukan tanpa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial.
(7) Pengusaha wajib membayar kepada pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan
ayat (5), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat
(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 161
(1) Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran
ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja,
setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan
pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.
(2) Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali
ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengalami pemutusan
hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memperoleh
uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan
uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 162
(1) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas
kemauan sendiri, memperoleh uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156
ayat (4).
(2) Bagi pekerja/buruh yang mengundurkan diri atas
kemauan sendiri, yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha
secara langsung, selain menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam
perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
(3) Pekerja/buruh yang mengundurkan diri
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi syarat:
a. mengajukan permohonan pengunduran diri secara
tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai
pengunduran diri;
b. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
c. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal
mulai pengunduran diri.
(4) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan
pengunduran diri atas kemauan sendiri dilakukan tanpa pene-tapan lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Pasal 163
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh dalam hal terjadi perubahan status, penggabungan,
peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan dan pekerja/buruh tidak
bersedia melanjutkan hubungan kerja, maka pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
perhargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
(2) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh karena perubahan status, penggabungan, atau
peleburan perusahaan, dan pengusaha tidak bersedia menerima pekerja/buruh di
perusahaannya, maka pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan dalam Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
dalam Pasal 156 ayat (4).
Pasal 164
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan
mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan
memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang
pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) uang penghargaan
masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang
telah diaudit oleh akuntan publik.
(3) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami
kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force
majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2),
uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3)
dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 165
Pengusaha
dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/ buruh karena perusahaan
pailit, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
Pasal 166
Dalam
hal hubungan kerja berakhir karena pekerja/buruh meninggal dunia, kepada ahli warisnya
diberikan sejumlah uang yang besar perhitungannya sama dengan perhitungan 2 (dua)
kali uang pesangon sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), 1 (satu) kali uang penghargaan
masa kerja sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Pasal 167
(1) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan
kerja terhadap pekerja/buruh karena memasuki usia pensiun dan apabila pengusaha
telah mengikutkan pekerja/buruh pada program pensiun yang iurannya dibayar
penuh oleh pengusaha, maka pekerja/buruh tidak berhak mendapatkan uang pesangon
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (3), tetapi tetap berhak atas uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(2) Dalam hal besarnya jaminan atau manfaat
pensiun yang diterima sekaligus dalam program pensiun sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) ternyata lebih kecil daripada jumlah uang pesangon 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2) dan uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
156 ayat (4), maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.
(3) Dalam hal pengusaha telah mengikutsertakan
pekerja/buruh dalam program pension yang iurannya/premi-nya dibayar oleh
pengusaha dan pekerja/buruh, maka yang diperhitungkan dengan uang pesangon
yaitu uang pensiun yang premi/iurannya dibayar oleh pengusaha.
(4) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
ayat (2), dan ayat (3) dapat diatur lain dalam perjanjian kerja, peraturan
perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
(5) Dalam hal pengusaha tidak mengikutsertakan
pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun pada
program pensiun maka pengusaha wajib memberikan kepada pekerja/buruh uang
pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan
masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
(6)
Hak atas manfaat pensiun sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1), ayat (2),
ayat (3), dan ayat (4) ti-dak menghilangkan hak pekerja/buruh atas jaminan hari
tua yang bersifat wajib sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 168
(1) Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima)
hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara ter tulis yang
dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 (dua)
kali secara patut dan tertulis dapat diputus hubungan kerjanya karena
dikualifikasikan mengundurkan diri.
(2) Keterangan tertulis dengan bukti yang sah
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diserahkan paling lambat pada hari
pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
(3) Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) pekerja/buruh yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian
hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya
dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau
perjanjian kerja bersama.
Pasal 169
(1) Pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan
pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
a. menganiaya, menghina secara kasar atau
mengancam pekerja/buruh;
b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang
telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;
d. tidak melakukan kewajiban yang telah
dijanjikan kepada pekerja/ buruh;
e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan
pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
f. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan
tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
(2) Pemutusan hubungan kerja dengan alasan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon
2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu)
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
(3) Dalam hal pengusaha dinyatakan tidak melakukan
perbuatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) oleh lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial maka pengusaha dapat melakukan pemutusan
hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan
industrial dan pekerja/buruh yang bersangkutan tidak berhak atas uang pesangon
sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penghargaan masa kerja sesuai
ketentuan Pasal 156 ayat (3).
Pasal 170
Pemutusan
hubungan kerja yang dilakukan tidak memenuhi keten-tuan Pasal 151 ayat (3) dan
Pasal 168, kecuali Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), Pasal 162, dan Pasal
169 batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan pekerja/buruh yang
bersangkutan serta membayar seluruh upah dan hak yang seharusnya diterima.
Pasal 171
Pekerja/buruh
yang mengalami pemutusan hubungan kerja tanpa penetapan lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 158 ayat (1), Pasal 160 ayat (3), dan Pasal 162, dan pekerja/buruh yang bersangkutan
tidak dapat menerima pemutusan hubungan kerja tersebut, maka pekerja/buruh
dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial
dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun sejak tanggal dilakukan pemutusan hubungan
kerjanya.
Pasal 172
Pekerja/buruh
yang mengalami sakit berkepanjangan, mengalami cacat akibat kecelakaan kerja
dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 (dua belas) bulan
dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja dan diberikan uang pesangon 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 2 (dua) kali
ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang pengganti hak 1 (satu) kali ketentuan
Pasal 156 ayat (4).
Sumber:
www.prokum\uu\2003\uu13-2003.htm
Disadur
ulang oleh: Triple World tanpa mengubah esensi dari materi yang ada di dalam
undang-undang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda. Terima kasih.