BAB V
PENGELOLAAN HUTAN
PENGELOLAAN HUTAN
Bagian Kesatu
Umum
Umum
Pasal 21
Pengelolaan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) huruf b, meliputi kegiatan:
a.
tata
hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan,
b. pemanfaatan hutan dan
penggunaan kawasan hutan,
c. rehabilitasi dan reklamasi
hutan, dan
d. perlindungan hutan dan
konservasi alam.
Bagian Kedua
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pasal 22
(1) Tata hutan
dilaksanakan dalam rangka pengelolaan kawasan hutan yang lebih intensif untuk
memperoleh manfaat yang lebih optimal dan lestari.
(2) Tata hutan meliputi
pembagian kawasan hutan dalam blok-blok berdasarkan ekosistem, tipe, fungsi dan
rencana pemanfaatan hutan.
(3) Blok-blok sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dibagi pada petak-petak berdasarkan intensitas dan
efisiensi pengelolaan.
(4) Berdasarkan blok dan
petak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), disusun rencana pengelolaan
hutan untuk jangka waktu tertentu.
(5) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan
Pasal 23
Pemanfaatan hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf b, bertujuan untuk memperoleh manfaat yang
optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap
menjaga kelestariannya.
Pasal 24
Pemanfaatan kawasan hutan
dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta
zona inti dan zona rimba pada taman nasional.
Pasal 25
Pemanfaatan kawasan hutan
pelestarian alam dan kawasan hutan suaka alam serta taman buru diatur sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 26
(1) Pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha
pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin
pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 27
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a. perorangan,
b.
koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan
kepada:
a.
perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta
Indonesia,
d. badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin pemungutan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 26 ayat (2), dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b. koperasi.
Pasal 28
(1) Pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan,
pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta
pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
(2) Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin
usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu,
izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Pasal 29
(1) Izin usaha pemanfaatan kawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b. koperasi.
(2) Izin usaha pemanfaatan jasa
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta
Indonesia,
d. badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah.
(3) Izin usaha pemanfaatan hasil
hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan
kepada:
a.
perorangan,
b.
koperasi,
c.
badan
usaha milik swasta Indonesia,
d.
badan
usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.
(4) Izin usaha pemanfaatan hasil
hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan kepada:
a.
perorangan,
b. koperasi,
c. badan usaha milik swasta
Indonesia,
d. badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah.
(5) Izin pemungutan hasil hutan kayu
dan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dapat diberikan
kepada:
a.
perorangan,
b. koperasi.
Pasal 30
Dalam rangka pemberdayaan
ekonomi masyarakat, setiap badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah,
dan badan usaha milik swasta Indonesia yang memperoleh izin usaha pemanfaatan
jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu,
diwajibkan bekerja sama dengan koperasi masyarakat setempat.
Pasal 31
(1) Untuk menjamin asas keadilan,
pemerataan, dan lestari, maka izin usaha pemanfaatan hutan dibatasi dengan
mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan aspek kepastian usaha.
(2) Pembatasan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 32
Pemegang izin sebagaimana
diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 29 berkewajiban untuk menjaga, memelihara, dan
melestarikan hutan tempat usahanya.
Pasal 33
(1) Usaha pemanfaatan hasil hutan
meliputi kegiatan penanaman, pemeliharaan, pemanenan, pengolahan, dan pemasaran
hasil hutan.
(2) Pemanenan dan pengolahan hasil
hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh melebihi daya dukung hutan
secara lestari.
(3) Pengaturan,
pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 34
Pengelolaan kawasan hutan
untuk tujuan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dapat diberikan kepada:
a.
masyarakat
hukum adat,
b. lembaga pendidikan,
c. lembaga penelitian,
d.
lembaga
sosial dan keagamaan.
Pasal 35
(1) Setiap
pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan
Pasal 29, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan
kinerja.
(2) Setiap pemegang izin usaha
pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 wajib
menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan.
(3) Setiap pemegang izin pemungutan
hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dan Pasal 29 hanya dikenakan
provisi.
(4) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 36
(1) Pemanfaatan hutan hak dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan hak yang berfungsi lindung dan konservasi dapat
dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Pasal 37
(1) Pemanfaatan hutan adat dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang
bersangkutan, sesuai dengan fungsinya.
(2) Pemanfaatan hutan adat yang berfungsi lindung dan konservasi dapat
dilakukan sepanjang tidak mengganggu fungsinya.
Pasal 38
(1) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar
kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan
kawasan hutan lindung.
(2) Penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan.
(3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan
melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan
batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan.
(4) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan
pola pertambangan terbuka.
(5) Pemberian izin pinjam pakai sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang
berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis dilakukan oleh
Menteri atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pasal 39
Ketentuan pelaksanaan
tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 27, Pasal 29, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
Pasal 40
Rehabilitasi hutan dan
lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi
hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam
mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga.
Pasal 41
(1) Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan:
a.
reboisasi,
b. penghijauan,
c. pemeliharaan,
d. pengayaan tanaman, atau
e. penerapan teknik
konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak
produktif.
(2) Kegiatan
rehabilitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di semua hutan dan
kawasan hutan kecuali cagar alam dan zona inti taman nasional.
Pasal 42
(1) Rehabilitasi
hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik.
(2) Penyelenggaraan rehabilitasi
hutan dan lahan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam
rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat.
(3) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 43
(1) Setiap orang yang memiliki,
mengelola, dan atau memanfaatkan hutan yang kritis atau tidak produktif, wajib
melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan dan konservasi.
(2) Dalam pelaksanaan rehabilitasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap orang dapat meminta pendampingan,
pelayanan dan dukungan kepada lembaga swadaya masyarakat, pihak lain atau
pemerintah.
Pasal 44
(1) Reklamasi hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 huruf c, meliputi usaha untuk memperbaiki atau
memulihkan kembali lahan dan vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi
secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
(2) Kegiatan
reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi inventarisasi lokasi,
penetapan lokasi, perencanaan, dan pelaksanaan reklamasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 45
(1) Penggunaan kawasan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) yang mengakibatkan kerusakan
hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang
ditetapkan pemerintah.
(2) Reklamasi pada kawasan hutan bekas areal pertambangan, wajib
dilaksanakan oleh pemegang izin pertambangan sesuai dengan tahapan kegiatan
pertambangan.
(3) Pihak-pihak yang
menggunakan kawasan hutan untuk kepentingan di luar kegiatan kehutanan yang
mengakibatkan perubahan permukaan dan penutupan tanah, wajib membayar dana
jaminan reklamasi dan rehabilitasi.
(4) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pasal 46
Penyelenggaraan
perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan, kawasan hutan
dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi,
tercapai secara optimal dan lestari.
Pasal 47
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha
untuk:
a.
mencegah
dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan
oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama, serta penyakit; dan
b. mempertahankan dan menjaga
hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil
hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Pasal 48
(1) Pemerintah
mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan.
(2) Perlindungan hutan pada hutan
negara dilaksanakan oleh pemerintah.
(3) Pemegang izin usaha pemanfaatan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 dan Pasal 29, serta pihak-pihak yang menerima wewenang pengelolaan hutan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan dalam areal
kerjanya.
(4) Perlindungan
hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya.
(5) Untuk
menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat
diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.
(6) Ketentuan lebih lanjut
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Pemegang hak atau izin
bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya.
Pasal 50
(1) Setiap
orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin
usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha
pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan
kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan
hutan.
(3) Setiap
orang dilarang:
a.
mengerjakan
dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;
b.
merambah
kawasan hutan;
c.
melakukan
penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
1. 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau;
2. 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa;
3. 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai;
4. 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai;
5. 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang;
6. 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
d. membakar hutan;
e. menebang pohon atau
memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin
dari pejabat yang berwenang;
f. menerima, membeli atau
menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan
yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau
dipungut secara tidak sah;
g. melakukan kegiatan
penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam
kawasan hutan, tanpa izin Menteri;
h. mengangkut, menguasai,
atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-sama dengan surat
keterangan sahnya hasil hutan;
i. menggembalakan ternak di
dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut
oleh pejabat yang berwenang;
j. membawa alat-alat berat
dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk
mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang
berwenang;
k. membawa alat-alat yang
lazim digunakan untuk menebang, memotong, atau membelah pohon di dalam kawasan
hutan tanpa izin pejabat yang berwenang;
l. membuang benda-benda yang
dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan serta membahayakan keberadaan atau
kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan; dan
m. mengeluarkan, membawa, dan
mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undang-undang
yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang.
(4) Ketentuan tentang mengeluarkan, membawa, dan atau mengangkut
tumbuhan dan atau satwa yang dilindungi, diatur sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 51
(1) Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada
pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang
kepolisian khusus.
(2) Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang untuk:
- mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
- memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
- menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
- mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
- dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan kepada yang berwenang; dan
- membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan masukkan komentar anda. Terima kasih.